Saturday, May 9, 2015

Memahami Kehidupan yang Penuh Asumsi


Sejak kecil kita sudah terbiasa dengan berasumsi. Pada waktu kita masih bayi, dan kemudian merangkak mendekati sumber cahaya yang menari2 dan berwarna menyejukkan, dimana kita kemudian mengenalnya dengan nama "lilin", kita baru tahu bahwa nyala api itu panas setelah kita mencoba memegang api yang menari2 itu.

Setelah beranjak dewasa, pengalaman masa kecil itu terus terbawa. Setiap melihat nyala api lilin kita selalu berasumsi bahwa api lilin itu panas. Karena setiap kita buktikan panas api lilin itu memang benar2 terbukti, maka kita menyimpulkan bahwa api lilin itu panas. Asumsi yang dibuktikan dengan realitas ini akan menjadi "proven assumption" yang kemudian kita generalisasikan berlaku untuk semua lilin dan benda2 yang berapi.

Katakanlah saat ini kita menyalakan lilin di atas meja. Pada detik ini juga memori kita memberitahukan bahwa dulu sudah dibuktikan api lilin itu panas. Penalaran kita memberikan analisa bahwa api lilin yang dulu sudah terbukti panas itu, jika kita pegang saat ini pasti akan panas juga, karena sudah dibuktikan berkali2. Walapun saat ini kita sama sekali tidak berniat untuk memegang api lilin itu, kita sudah berasumsi dengan yakin bahwa api lilin itu pasti panas. Asumsi semacam ini bisa disebut sebagai asumsi yang berbasis pada kenyataan dan bukti di masa lalu (assumption based on fact and evidence). Faktanya kita tidak pernah membuat pembuktian lagi untuk api lilin yang ada di atas meja, tetapi cukup menggunakan generalisasi berdasarkan pembuktian di masa lalu.

Itu baru membahas soal nyala api lilin. Belum lagi membahas ribuan hal2 lain yang tingkat pembuktiannya berbeda2. Ada yang selalu terbukti benar, ada yang kadang terbukti kadang tidak, ada yang pernah terbukti tetapi hanya sekali, dan ada juga yang diharapkan memiliki probabilitas tinggi untuk terbukti walaupun sama sekali belum pernah dibuktikan. Diperkirakan hampir 90% dari isi memori kita berupa asumsi, sisanya hanyalah pengalaman pribadi. Kehidupan kita ini penuh dengan asumsi.

Banyak orang yang menilai orang lain atau fenomena lain dengan sebegitu yakinnya seolah2 seperti membaca sebuah buku. Sebagai contoh, ada orang yang menyatakan "Jangan percaya kepada media, karena media itu kebanyakan hanya berisi berita yang sudah dikemas untuk kepentingan tertentu". Yang membuat pernyataan ini mungkin lupa bahwa media itu adalah salah satu sumber pengetahuan manusia. Kita bisa tahu ramalan cuaca hari ini juga berkat media, entah itu media cetak atau media online. Bahkan semua mata pelajaran kita waktu sekolah dulu, juga berupa media yang berbentuk buku, CD atau artikel yang tayang di internet.

Media tidak pernah salah, karena media adalah ajang untuk menuliskan berita baik yang berupa fakta, opini atau ramalan. Kita yang harus selalu melakukan cross-check kebenaran sebuah berita, khususnya berita2 yang bersifat infotainment, gossip, ataupun berita politik. Tidak semua berita itu bisa kita cross-check karena butuh effort yang luar biasa kalau kita melakukan hal itu. Ada berita yang perlu kita terima cukup dengan keyakinan, seperti misalnya dongeng tentang agama yang hanya bersumber pada mulut satu atau beberapa gelintir orang saja. Karena ada banyak orang yang mempercayai sebuah dongeng, bukan berarti dongeng itu benar secara de fakto. Sebuah dongeng agama tidak berbeda jauh dengan dongeng Sangkuriang atau Roro Mendut. Bedanya, dongeng agama itu bisa memberikan efek publik yang meluas sehingga perlu di-maintain dengan baik dan kalau perlu dimodifikasi sesuai kebutuhan.

Ada juga orang2 yang membuat pernyataan bahwa group KFSM yang saya kelola adalah group filsuf dan saintis gadungan. Mereka berasumsi bahwa kalau ada group yang membahas tentang filsafat, sains dan metafisika, berarti isinya adalah orang2 yang paham dengan hal itu, dan menurut pengamatan mereka, orang2 di grup tersebut banyak yang tidak paham dengan apa yang dibicarakannya. Mereka lupa bahwa sebuah group tidak berbeda jauh dengan media publik, kita bisa menyalin berita apapun di dunia ini untuk dibahas dalam group, termasuk juga membuat artikel yang berupa opini ataupun gabungan antara sains dan fiksi. Sebuah koran cetak yang memuat artikel berupa resep masakan bukan berarti team redaksi koran itu semuanya adalah pakar dalam bidang masak memasak.

Kebodohan2 yang berbasis pada asumsi semacam itu akan terus berlanjut sampai kapanpun. Banyak orang2 bodoh yang berasumsi bahwa mereka itu lebih cerdas dari sebagian kelompok yang lain. Kita masih perlu belajar membedakan mana sebuah pernyataan yang berbasis pada asumsi, dan mana sebuah pernyataan yang berbasis pada fakta di masa lalu. Jarang sekali ada orang bodoh yang mengaku bodoh. Minimal mereka akan membuat pembelaan diri dengan menyatakan, "Saya tidak paham dengan hal itu, tetapi saya cukup pakar pada bidang lain yang tidak anda pahami".

Sifat alami manusia memang seperti itu. Sayapun juga begitu. Selalu ada ego yang mencuat ke permukaan. Seperti ketika kita mencoba menilai orang lain dan mengatakan, "Kalau saya tidak akan melakukan hal itu, itu adalah hal yang buruk dan tidak etis", itu sebenarnya hanyalah sebuah pernyataan bahwa saya lebih baik dari orang yang saya nilai itu. Dan inipun masih butuh pembuktian sebelum bisa dianggap sebagai "assumption based on fact and evidence".

Jadi, mari kita belajar memilah2 isi memori kita. Pisahkan informasi pada beberapa kelompok sesuai dengan level asumsinya. Mana yang masih butuh pembuktian, mana yang sudah sering terbukti tetapi masih belum bisa dijadikan generalisasi, dan mana yang sudah proven by evidence.

Dengan memiliki kemampuan untuk memahami level asumsi tersebut, diharapkan kita bisa menjadi lebih bijak dalam memahami dan menilai sesuatu, dan itu bukan hal yang mudah untuk dilatih.

2 comments:

  1. tetapi asumsi yang berlebihan kepada hal yang negatif pun tak baik

    ReplyDelete
  2. dengan terus semangat maka asumsi akan tercapai

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.